Aku
kembali nulis lagi setelah berbulan-bulan lamanya vakum dari dunia blogging,
dan kini saatnya aku cerita kejadian lucu yang terjadi saat penerimaan rapor
seminggu yang lalu. Pagi itu, dengan pedenya aku melangkahkan kaki masuk ke
gerbang sekolah, emang waktu itu rasanya semangat banget karena kali pertamanya
ngambil rapor sendiri (sebenarnya tetep harus ada orangtua/wali, tapi berhubung
karena waktu semester III rapornya diambil sendiri -padahal waktu itu aku bawa
orangtuaku- jadinya aku berfikir semester yang ke IV ini rapor bisa diambil
tanpa orangtua/wali juga). Tiba di kelas aku disambut dengan teriakan
temen-temen "koma atas" salah satu (yah bisa dibilang gank) yang "bhineka tunggal
ika" banget, norak, ongol-ongol, tapi seru + jail dan aku termasuk di
dalamnya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya wali kelasku datang dan siap
untuk ngebagi rapor anak walinya, tapi disinilah awal ke-badmood-an
berlangsung, dan penyakit badmood ini
telah diderita oleh hampir seluruh teman-teman kelas yang orangtuanya nggak
sempat datang karena sibuk dan telah berharap akan ambil rapornya sendiri, seperti
diriku ini L. Kata
wali kelasku, “Rapor TIDAK BISA! Diambil jika tidak diwakili oleh orangtua/wali”.
Semua teman-temanku langsung lemas, semangat yang telah mereka bawa dari rumah
kini hilang seketika hanya dengan satu kalimat saja, kali ini wali kelasku mungkin
agak berlebihan, karena dari lima kelas (XI IPA) hanya kelasku yang
mengharuskan rapor diambil oleh orangtua masing-masing, bahkan tante, om, atau
kerabat dekat pun tidak boleh, padahal kelas yang lainnya tetap diberikan rapor
meskipun orangtua/walinya tidak ada, sungguh TERLALU!!!. Tapi, kami tidak
menyerah begitu saja, demi melihat nilai kami yang tertera di rapor. Banyak teman-teman
yang memakai jasa “orangtua” untuk mengambil rapor mereka, bahkan aksi nekat yang
pernah ku lihat adalah aksi seorang Dimi, salahsatu teman kelasku yang berani
membayar seorang tukang becak dengan uang Rp 5000,- demi mengambil rapornya,
dan anehnya “usaha” itu berhasil!!! (prok ... prok ... prok ...), lalu
selanjutnya banyak yang memakai jasa “orangtua bayaran” itu, tapi karena nggak semua
juga yang bawa uang pas akhirnya julukan “orangtua bayaran” diganti menjadi “orangtua
sewaan”. Awalnya aku juga ingin memanfaatkan moment ini, berhubung kalau
penerimaan rapor itu biasanya para orangtua berseliweran dimana-mana, tadinya
sih pengen cari yang pake saragam polisi, dan ternyata dapat! Orangnya tinggi,
besar, pokoknya tampang killer banget deh (kesannya biar nakut-nakutin gitu J) tapi ternyata batal, karena
rasa malu menang melawan keberanian, akhirnya ....
Aku pulang ke rumah tanpa
membawa rapor, dan berniat untuk mengambilnya saat hari pertama masuk sekolah
setelah liburan nanti, memang sih agak lama dan penasaran juga dengan nilai
yang ku dapat, tapi demi mempertahankan prinsip yaitu “jual mahal” akhirnya
rasa itu kusimpan dalam-dalam, bahkan sekarang aku sudah hampir lupa kalo belum
ambil rapor hahaha